Selamat dateng e blog-ga Oreng Madura "Blog-M" [Learn, Share, and Serve for Madura]
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Madura. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Madura. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 April 2010

Apa itu Carok?!

Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).

PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok?Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian.Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.
http://posmo.wordpress.com/2006/07/21/simbol-perlawanan-rakyat-jelata/

Senin, 22 Maret 2010

Kerapan Sapi


Tentunya membaca title diatas anda sudah tahu kalau kerapan sapi adalah budaya madura yang telah ada sejah ratusan tahun yang lampau bahkan dunia internasionalpun telah mengetahuinya. Namun tahukah anda sejarah tentang kerapan sapi??? Berikut akan dijelaskan mengapa dan kapan kerapan sapi itu ada.

Kerapan Sapi awal mulanya disebabkan dari kenyataan bahwa tanah madura yang kurang begitu subur dan kurang baik untuk pertanian, sehingga sebagai gantinya orang-orang madura menangkap ikan dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya untuk membajak sawah-sawah mereka.

Suatu ketika, seorang laki-laki bernama Syeh Ahmad Baidawi yang pertama kali memperkenalkan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu yang disebut "nanggala atau sagala" yang ditarik oleh dua ekor sapi. Syeh Ahmad Baidawi adalah seorang penyebar agama islam yang datang ke Madura yang diberi gelar "Pangeran Katandur"

Maksud dan tujuan diadakannya kerapan sapi adalah tidak lain untuk meperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah. Dengan adanya gagasan semacam inilah kemudian adanya tradisi kerapan sapi. Kegiatan ini rutin diadakan setiap tahunnya khususnya menjelang musim panen telah usai biasanya pada bulan agustus samapai oktober.

Dalam kegiatan ini dibagi empat babak, yaitu : Babak pertama, seluruh pasangan sapi diadu kecepatannya untuk memisahkan kelompok menang dan kelompok kalah, dimana kedua kelompok tersebut dapat dipertandingkan lagi.

Babak Kedua, Semua sapi yang menang maupun kalah dipertandingkan lagi, Babak ketiga atau semi final, adalah penentuan tiga pasang sapi sebagai pemenang dari kelompok pemenang dan tiga pasang sapi sebagai pemenang dari kelompok kalah. Babak keempat atau babak final untuk menentukan juara I,II, dan III dari kelompok kalah.

Minggu, 21 Maret 2010

Sejarah Pulau Madura

Menurut Cerita Purbakala (antara tahun 78) datanglah Adji Saka dari negeri Campa yang memperkenalkan kebudayaaan hindu ke pulau Jawa dan Madura. Pada saat itu pula dimulailah perhitungan tahun Saka dan memperkenalkan huruf :

hanacaraka,
data sawala,
padadjajanja,
magabatanga,


yang artinya :

dua orang pengikut Adji Saka
tersentuh dalam perkelahian,
sama-sama menunjukkan kekuatan,
mereka hancur lebur menjadi bangkai.


Dengan demikian setahap demi setahap kebudayaaan hindu mulai tersebar dan menurut cerita, Orang Jawa dan Madura mulai diperkenalakan dengan ajaran baru dengan adanya kepercayaan terhadap :
-Brahma
-Siwa
-Wisnu


Beberapa abad kemudian, diceritakan bahwa ada suatu negara yang disebut Mendangkamulan dengan Rajanya yang bernama Sanghyangtunggal. Saat itu pulau Madura merupakan pulau yang terpecah belah, yang nampak hanya gunung Geger di kabupaten bangkalan dan Gunung Pajudan di kabupaten Sumenep. Di ceritakan bahwa Raja Sanghyangtunggal mempunyai anak yang bernama Bindoro Gung. Pada suatu waktu anak itu hamil dan diketahui oleh ayahnya. beberapa kali ayahnya menanyakan namun anaknya tidak tahu yang menyebabkan dia hamil. Pada Saat itu Raja sangat marah dan dipanggillah patihnya yang bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya.

Selama pepatih itu tidak dapat membuktikan bahwa anak itu sudah dibunuh, ia tidak boleh kembali ke kerajaan. Patih Pranggulang menyanggupinya dan ia membawa anak raja itu ke hutan. Sesampainya dihutan Pranngulang mulai menghunus pedangnya dan mengayunkannya keleher gadis itu. Tetapi sebelum pedang tersebut sampai kelehernya pedang itu jatuh ketanah, dan kejadian itu terjadi berulang kali, sampai akhirnya dia yakin bahwa hamilnya Bendoro Gung bukan karena hasil perbuatannya sendiri.

Oleh karena itu ia tidak melanjutkan perbuatannya itu, tetapi ia memiilih untuk tidak kembali kekerajaan. Pada saat itu pula ia mengganti namanya dengan sebutan Kiyai Poleng. Ia lalu membuat serangkaian kayu dan menghanyutkan gadis itu ke Pulau "Maduoro". inilah asal nama pulau madura. Sebelum berangkat kiyai Poleng berpesan kepada Bendoro Gung, jika ada keperluan apa-apa, supaya ia memukulkan kakinya diatas tanah dan pada saat itu kiyai Poleng akan datang untuk membantunya. Selanjutnya rakit itu berlayar menuju Maduoro dan terdampar di Gunung Geger.

Lahirnya Raden Sagoro

Pada Suatu Saat si gadis hamil itu merasa perutnya sakit dan dengan segera ia memanggil kiyai Poleng. Tidak lama kemudian Kiyai Poleng datang dan ia mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan. Tak lama lahirlah seorang anak laki-laki yang roman mukanya tampan dan diberi nama " Raden Sagoro " (sagoro=laut). Dengan demikian ibu dan anaknya yang bernama raden sagoro menjadi penduduk pertama di Pulau Madura.

perahu-perahu yang berlayar di sekitar pulau madura sering melihat adanya cahaya yang terang di tempat Raden sagoro tinggal, dan seringkali perahu-perahu tersebut berlabuh dan mengadakan selamatan di tempat itu. Dengan demikian tempat itu semakin lama semakin ramai karena sering kedatangan tamu terutama yang niatnya dapat terkabul untuk kepentingan pribadinya. Selain itu para pengunjung memberikan hadiah-hadiah kepada Ibu dari Raden Sagoro maupun kepada Raden Sagoro itu sendiri.

Setelah Raden Sagoro mencapai umur 3 tahun ia sering bermain api ditepi lautan dan pada suatu hari datanglah dua ekor ular naga yang sangat besar mendekati dia. Dengan ketakutan ia lari dan menjumpai ibunya dan mennceritakan semua yang dia alami. Ibunya merasa ketakuatan dan saat itu pula ia memanggil Kiyai Poleng dan pada saat itu pula ia menceritakannya. Kiyai Poleng lalu mengajak Raden Sagoro pergi ketepi pantai.

Pada saat itu memang benar datanglah dua ekor ular raksaasa dan Kiyai Poleng menyuruh Raden Sagoro supaya kedua ekor ular itu didekati dan ditanggakap lalu dibanting ke tanah. setelah melaksanakan perintah itu kedua ekor ular berubah menjadi dua buah tombak. Tombak itu kemudian diberi nama Nenggolo dan Aluquro. Kiyai poleng berpesan bahwa tombak bernama Aluquro disimpan di rumah dan tombak Nenggolo dibawah ketika berperang.
Diceritakan selanjutnya, menurut kepercayaan orang, dua buah tomabk tadi pada akhirnya sampai ketangan Pangeran Demang Palakaran, Raja Arosbaya. karena itu sampai saat ini kedua tombak tersebut menjadi Pusaka Bangkalan.